Siapa yang tidak kenal dengan Presiden Indonesia keempat yang
terkenal nyentrik. Nyentrik dalam artian selalu mengabaikan kebiasaan -
kebiasaan orang istana dan tetap berperilaku layaknya gusdur yang terkenal
dengan kerenyahan dam bermasyarakat. Ketika menjadi Presiden tidak pernah
mematuhi protokoler yang ditetapkan oleh orang - orang istana sebelumnya,
selalu melabrak aturan tersebut. Lihat saja ketika menerima tamu dari kalangan
masyarakat hampir setiap hari dari yang sarungan sampai berdasi dari orang desa
sampai orang kantoran, sehingga hilanglah perilaku eksklusif istana. Semua
orang bisa datang dan bertemu dengan Presidennya di istana negara tanpa
dibatasi pemisah antara masyarakat dan kalangan pejabat seperti sekarang dan
pada masa kerajaan dulu. Sosok Gusdur yang selalu dinanti ketika terjadi
permasalahan di dalam bangsa ini beliau selalu menganggap enteng dengan
ucapannya " Gitu aja ko repot ". Memang di mata sosok Gusdur apa pun
dianggap mudah dan enteng meskipun hal itu menurut orang lain berat.
Selama menjabat presiden 2 tahun lebih selalu berjalan - jalan dan
melakukan lawatan hal itu dilakukan sebagai langkah diplomasi dengan negara
sahabat dan kalangan yang ingin Indonesia tidak utuh, karena pada saat itu
indonesia sedang terancam dengan adanya disintegrasi bangsa. provinsi Aceh yang
saat itu meminta untuk memisahkan diri dari indonesia dengan tokoh sentralnya
daud beureuh yang berada di belgia membentuk gerapakan yang disebut dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gusdur sebagai kepala negara menyelesaikannya bukan
dengan terjun langsung kedaerah konflik itu melainkan ke pihak luar karena
berdirinya suatu negara membutuhkan pengakuan dari negara luar, secara defacto bisa
saja tetapi secara dejure itu harus dengan diplomasi. Oleh karena itu maka
gusdur melakukan diplomasi dengan negara - negara sahabat bahwa Aceh masih
kesatuan bangsa Indonesia dan akan selalu menjadi bagian dari bangsa Indonesia
dan NKRI.
Sosoknya yang ramah dan bisa bergaul dengan semua kalangan membuat
banyak orang kagum baik dari orang Indonesia sendiri maupun bangsa luar. namun
tidak jarang komentar dan statement - nya itu menimbulkan kontroversial seperti
kasus Al-Qur'an itu "porno". Ketika sudah dijelaskan rasionalisasi
dan kajian ilmiahnya baru semua berdecak dengan kehebatan dan cara pandang
Gusdur ini. Dengan pemikirannya yang luas inilah ketika beliau wafat pada
tanggal 30 Desember 2009 meninggalkan sebuah warisan yang sangat berharga.
Warisan pemikiran yang lebih dikenal dengan Sembilan Prisma Pemikiran Gusdur.
pemikiran in yang selalu hidup di dalam orang - orang yang mengikuti jejak
langkah Gusdur seperti kalangan generasi muda NU yang lebih dikenal dengan
sebutan Gusdurian. Inilah sembilan prisma pemikiran Gusdur yang harus dimiliki
oleh setiap orang Indonesia yang mana nilai - nilai ini bagian dari
implementasi nilai - nilai Pancasilan.
9 nilai pemikiran Gus Dur ini diharapkan
bisa memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap spektrum pemikiran dan
tindakan Gus Dur yang sangat luas. Sangking luasnya, sehingga beliau sering
dilabeli kontroversial. Ini dikarenakan Gus Dur adalah orang yang mau dan tanpa
segan-segan berseberangan dengan pendapat mayoritas yang justru kebanyakan
adalah para pendukung beliau sendiri. Terlepas dari kekurangan Gus Dur sebagai
manusia, 9 nilai ini akan sangat membantu kita untuk memahami logika pikir
disetiap perilaku dan pendapat Gus Dur itu. Selain itu, diharapkan agar
nilai-nilai ini bisa menjadi teladan dan warisan Gus Dur yang tetap hidup,
berkembang dan menjadi elan vital kehidupan kita.
Nilai pertama : Ketauhidan
Inilah prinsip dasar yang menjadi basis
dari seluruh pemikiran Gus Dur. Ketauhidan adalah pengakuan manusia bahwa tidak
ada hal yang lebih penting atau segalanya selain peran dan posisi tunggal Tuhan
sebagai sang Maha segalanya di semesta ini. Prinsip ketauhidan ini membawa
konsekuensi riil seperti yang berhak menentukan baik dan buruk, benar dan salah
adalah hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak boleh dan tidak akan bisa mendikte
Tuhan untuk begini dan begitu. Jika anda beriman, berbuat baik, bagus ritual
dan sosialnya, itu semua tidak menjadikan wajib bagi Tuhan untuk memasukkan
anda kedalam surga. Sekali-kali tidak. Tuhan bebas untuk melakukan apapun yang
Dia mau.
Hebatnya, konsepsi tauhid ini tidak hanya
bisa dipahami dan digunakan oleh muslim sendiri. Sebagai contoh, bnyak sarjana
kristen yang mengakui bisa mendalami kekristenan mereka setelah belajar dan
memahami tauhid. Mereka itu seperti Louis Massignon, W.C. Smith, Kenneth Cragg,
Hans Kung dan Bijlefeld (selengkapnya baca bukunya Alwi Sihab, Islam Inkusif,
terbitan Mizan). Belajar dari situ, salah satunya bisa kita pahami kemudian kenapa
Gus Dur bisa demikian inklusif. Ketauhidan tidak akan pernah bisa memberikan
ruang untuk fanatisme buta (yang berarti menganggap diri mutlak yang paling
benar dalam beragama), tapi tauhid memberi landasan kuat untuk beragama dan
bergaul dengan ramah dengan yang lain.
Nilai kedua: Kemanusiaan
Meneladani Gus Dur adalah sebuah proses yang tidak
akan berhenti. 9 nilai yang berhasil dirumuskan oleh para pegiat Gusdurian ini
setidaknya bisa memberikan perspektif yang tepat untuk tindakan konkrit
peneladanan itu. Tentu saja, masih terbuka dan masih mungkin untuk
mengeksplorasi semua keunikan dan contoh prilaku Gus Dur, meskipun kita juga
tetap mesti sadar, bahwa Gus Dur tetaplah seorang manusia biasa yang tidak bisa
lepas dari salah dan dosa. Peneladanan ini bukanlah dimaksudkan untuk menjadi
kultus, tapi lebih kepada penanaman nilai diri yang bisa berguna untuk
lingkungan sekitar dan kebangsaan kita kedepan.
Mengapa Gus Dur membela Ahmadiyah?
Membela Inul, Dorce dan kaum Tionghoa? Mbak alisa berhusnudhon bahwa bukan
Inul, Dorce dan Ahmadiyah serta Tionghoa-nya yang dibela, tapi kemanusiaan
mereka lah yang memanggil Gus Dur untuk membela tanpa reserve. Harus diakui
bahwa kita beragama itu cenderung mengedepankan dogma, bukan realitas kemanusiaan
itu sendiri.
Maka tidak heran, ada orang “saleh”,
rajin shalat dan baca qur’an, tapi gemar memukuli orang yang buka warung di
siang hari di bulan puasa. Logika kemanusiaan yang hilang diganti dengan
seperangkat doktrin, sehingga keamaan mereka menjadi kering dan terkadang
asosial. Gus Dur memberikan kita contoh, bahwa kemanusiaan adalah hal yang
fundamental dalam hidup. Sebab dari situ kita bisa belajar untuk memahami dan
menerima orang lain dengan terbuka. Gus Dur mengajari kita untuk memanusiakan
manusia, bukan menganggap mereka seperti binatang yang bisa kita pukuli, grebek
dan bahkan dibunuh sesuka kita.
Nilai ketiga: Keadilan
Adakah yang lebih dibutuhkan manusia
dalam hidupnya selain keadilan? Tidak ada yang menolak itu. Itulah kenapa,
sebagai contoh, Gus Dur mau berlelah-lelah membela kaum minoritas. Gus Dur
berusaha memberi keseimbangan diantara sekian banyak problem mayoritas vs
minoritas di negeri ini. Buat Gus Dur, mayoritas tidak boleh berwatak
minoritas, dan sebaliknya minoritas tidak boleh berwatak minoritas.
Karena jika itu yang muncul, akan muncul
ketidak-adilan yang hanya mendasarkan diri pada logika golongan masing-masing.
Prinsip keadilan mensyaratkan keseimbangan perang antara mayoritas dan
minoritas. Tak heran kemudian Gus Dur terkenal sebagai tokoh pluralisme, yang
tidak pernah mau tersekat dalam kotak sempit identitas, tapi aktif menjalin
komunikasi dan sinergi dengan semua entitas luar. Tentu saja, kerjasama ini
dilandasi untuk memperoleh keadilan yang benar-benar bisa diterima oleh semua
golongan.
Nilai keempat: Kesetaraan
Cerita
dari Alisa Wahid, ketika Gus
Dur masih menjadi Ketua Umum PBNU, beliau pernah sowan kepada seorang
kiai di Cirebon. Disana, sang kiai ternyata tidak hanya memberikan
wejangan, tapi sang
kiai juga bersungguh-sungguh meminta Gus Dur untuk menikahi salah
seorang
putrinya. Sebelum memberikan jawaban, Gus Dur meminta ijin untuk pamit
mencuci
tangan ke belakang. Ternyata itu hanya akal bulus Gus Dur, beliau
ternyata
langsung nggeblas, pergi tanpa pamit sama sang kiai.
Di kemudian hari difahami
bahwa Gus Dur ini ternyata tidak mau berpoligami karena menganggap bahwa posisi
laki-laki dan perempuan itu setara. Sehingga kalau Gus Dur berpoligami, beliau
menganggap bahwa itu sudah bentuk ketidaksetaraan. Maka karena tidak enak untuk
menolak permintaan kiai dari Cirebon itu, Gus Dur memilih untuk pergi tanpa
pamit.
Nilai kelima: Persaudaraan
Kenapa persoalan Papua di jaman SBY ini
menghabiskan dana begitu besar tapi masih dengan hasil yang kabur dan bahkan
semakin parah? Jawabannya, SBY harus meneladani Gus Dur dalam merangkul orang
papua. Gus Dur tidak membutuhkan dana besar untuk meredam pergolakan disana.
Gus Dur hanya mengembalikan nama Papua, membolehkan mereka mengibarkan bendera
bintang kejora (Gus Dur menyamakan status bintang kejora dengan bendera GP
Ansor, boleh dikibarkan berjejeran dengan Merah Putih asalkan lebih rendah dari
sang Saka). Dan pendekatan beliau ini lebih efektif dalam mengambil hati
orang-orang Papua, karena Gus Dur menganggap mereka sebagai saudara sebangsa
yang memang punya hak untuk menyuarakan aspirasinya.
Harus jujur diakui, benarkah kita
menganggap orang papua sebagai saudara kita sebangsa dan setanah air? Kalau
sudah, seberapa perduli kita dengan persoalan mereka? Jawabannya akan terlalu
sedikit. Kita kebanyakan hanya peduli kalau Papua harus terus jadi bagian NKRI
karena ada tambang emas dan kekayaan alam dan budaya tak terhingga, atau karena
begitu banyaknya talenta emas orang papua dalam sepakbola misalkan. Kita masih
kurang peduli dengan betapa rendahnya tingkat pendidikan disana, dan betapa
mahalnya biaya hidup disana. Kita juga tidak begitu mengetahui betapa
menderitanya rakyat papua yang tercerabut dan merasa terasing di tanahnya
sendiri, karena begitu banyaknya pendatang yang menguasai segala lini kehidupan
mereka, terutama dalam bidang politik dan ekonomi.
Nilai keenam: Pembebasan
Ketika Gus Dur menjadi ketua umum PBNU,
selain dengan mencontohkan sendiri, beliau juga aktif mendorong dan membebaskan
banyak sekali anak muda NU untuk berekspresi dan berkarya tanpa harus takut
dengan otoritas-otoritas jam’iyyah semacam yang dipunyai para kiai sepuh. Gus
Dur rela menjadi penjamin, pembela dan pelindung mereka dalam menghadapi setiap
tekanan yang datang. Buah dari itu bisa kita lihat sekarang, dimana orang muda
NU tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas ke-NU-annya, hal yang dulu
sangat jarang dilakukan jaman orde baru. Banyak intelektual muda NU yang
menjadi akdemisi, pegiat LSM, birokrat dan juga politikus yang mewarnai kebangsaan
kita sekarang. Harus diakui, hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa contoh
dan dukungan Gus Dur ketika itu.
Nilai ketujuh: Kesederhanaan
Budayawan Ahmad Tohari pernah bercerita tentang kesederhanaan Gus Dur ketika menginap
di rumah kang Tohari. Gus Dur tidak pernah betah tidur di atas bed, sehingga
beliau selalu minta untuk digelarkan karpet di lantai untuk tidur beliau.
Menurut beliau, Gus Dur memberikan contoh nyata bagaiamana kita bersikap
sederhana dan tidak mau merepotkan orang rumah. Padahal, Gus Dur adalah tokoh
nasional, tetapi jiwa kesederhanaannya tak pernah luntur. Selain itu,
slogan Gitu aja kok repot! juga mencerminkan watak Gus Dur yang tidak
mau memperumit masalah. Mungkin, ini sejalan dengan prinsip Nabi Yassiruu
walaa tu’assiruu, masalah itu seharusnya disederhanakan dan dipermudah, bukan
malah dipersulit.
Nilai kedelapan: Ksatria
Ketika menjadi ketua Umum PBNU (dan
ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mencabut Tap MPRS yang mengatur tentang
larangan ajaran komunisme dan leninisme di Indonesia sewaktu beliau menjadi
Presiden), Gus Dur menyatakan permohonan maaf kepada semua kelompok yang
menjadi korban yang dituduh sebagai eks PKI. Mengapa Gus Dur seberani itu?
Karena Gus Dur mengerti sejarah dulu, dimana banyak orang-orang NU (khususnya
Ansor) yang membantai dan membunuhi orang-orang PKI pada tahun 66-67. Gus Dur
berinisiatif memohon maaf, karena memahami seberapapun benar alasan orang NU
dulu, tindakan pembunuhan itu tidaklah etis untuk ditutup-tutupi.
Gus Dur mengajarkan kita untuk bersikap
ksatria, mengakui kesalahan kita dan mau memohon maaf kepada sang korban. Tentu
pertimbangan Gus Dur tidaklah sesederhana ini, tapi minimal beliau memberika
kita contoh konkrit tentang sikap ksatria, meskipun kemudian beliau harus
menghadapi gelombang protes dan bahkan konflik berkepanjangan dengan paman
beliau, almarhum Pak Ud atau KH Yusuf Hasyim dari Tebuireng.
Nilai kesembilan: Kearifan local
Nilai tearkhir ini, membuat Gus Dur
kelihatan sebagai orang yang luwes, dimanapun beliau berada, beliau tidak
pernah terlihat kaku apalagi minder dengan sekitar. Ini memberi kita contoh dua
hal. Pertama, banggalah menjadi diri sendiri. Gus Dur dimana-mana selalu pakai
peci, berbicara dengan gaya bahasa dan pemikiran beliau. Beliau tidak harus
repot mengikuti protokol istana yang super rumit, beliau bebas mengekspresikan
diri dimanapun dan kapanpun karena beliau mengerti identitas dan watak beliau
sendiri. Kedua, hormati nilai-nilai disekitar anda hidup. Gus Dur luwes bergaul
dengan siapapun, tidak repot dengan kondisi sekitar, dan menghormati budaya
lokal.
Ada sebuah cerita lucu (diceritakan kembli Alissa Wahid) ketika awal tahun 2000, beliau masih jadi presiden dan mencoba
bertahun baru-an di Papua. Ketika malam beranjak mendekati pergantian tahun
baru, Gus Dur heran, kenapa acara tahun baru di Jayapura itu sepi sekali. Tidak
ada keramaian dan kembang api lazimnya di tempat lain di Indonesia. Percakapan
imajinernya mungkin seperti ini;
Gus Dur :
“Pak Gubernur, kenapa malam tahun baru di Jayapura ini sepi sekali?”
Gubernur : “Anu Gus, karena ada bapak disini makanya kami
perintahkan untuk tidak diadakan perayaan.”
Gus Dur : “Lho kok bisa begitu? Silahkan saja merayakan, wong saya
disini hanya pengen liat saja.”
Gubernur :
“Kami tidak enak dan berusaha menghormati panjenengan disini Gus.”
Gus Dur : “Memangnya apa yang biasa dilakukan orang-orang sini
ketika tahun baru?”
Gubernur : “Kami biasa mabuk-mabukan semalam penuh Gus.”
Gus Dur : “Oalah (tertawa)”. “Ya sudah, silahkan lah kalian
merayakan dengan cara kalian sendiri, jangan karena ada saya terus
acara kalian jadi bubar.”
Gubernur : “Terima kasih Gus, akan saya perintahkan untuk seperti
biasa.”
Epilog
Meneladani Gus Dur adalah sebuah proses yang tidak akan berhenti. 9 nilai
yang berhasil dirumuskan oleh para pegiat Gusdurian ini setidaknya bisa
memberikan perspektif yang tepat untuk tindakan konkrit peneladanan itu. Tentu
saja, masih terbuka dan masih mungkin untuk mengeksplorasi semua keunikan dan
contoh prilaku Gus Dur, meskipun kita juga tetap mesti sadar, bahwa Gus Dur
tetaplah seorang manusia biasa yang tidak bisa lepas dari salah dan dosa.
Peneladanan ini bukanlah dimaksudkan untuk menjadi kultus, tapi lebih kepada
penanaman nilai diri yang bisa berguna untuk lingkungan sekitar dan kebangsaan
kita kedepan.di kutip klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar